Ilustrasi orang pusing di depan laptop. (Freepik)
Ilustrasi orang pusing di depan laptop. (Freepik)
KOMENTAR

DALAM pusaran krisis ekonomi yang terus memburuk, banyak orang, termasuk umat Islam, justru memilih jalan gulita dengan terjun bebas ke dunia judi online. Apa yang dulunya dianggap sebagai kegiatan tersembunyi, kini semakin mudah diakses, bahkan dari rumah sendiri.

Judi online tidak lagi membutuhkan perjalanan ke tempat-tempat khusus; kini, seseorang bisa berjudi di tengah keluarganya, mungkin di samping pasangan, atau bahkan saat makan malam bersama anak-anak. Dampaknya, perjudian yang semula dilakukan secara sembunyi-sembunyi telah merangsek ke ruang-ruang pribadi, merusak tatanan pondasi rumah tangga.

Ironi dari praktik judi online adalah bahwa keuntungan besar selalu berada di tangan bandar. Pada awalnya, penjudi diberikan kemenangan kecil untuk memancing lebih banyak taruhan. Sekali menang, mereka percaya bahwa keberuntungan ada di pihaknya, tapi kenyataannya adalah jebakan. Penjudi terjebak dalam lingkaran harapan palsu, dan akhirnya, banyak yang gelap mata menjual aset berharga mereka, mulai dari kendaraan hingga rumah.

Ketika harta benda sudah habis, utang semakin menumpuk, dan krisis pribadi menjadi bencana yang lebih luas. Tak jarang, perjudian menjadi akar kehancuran rumah tangga, meningkatnya perceraian, serta melonjaknya angka kriminalitas di lingkungan sosial.

Lebih parahnya, uang yang beredar dari praktik judi online tidak kembali ke sirkulasi ekonomi Indonesia, melainkan terbang ke luar negeri, ke tangan bandar-bandar asing. Uang yang seharusnya digunakan untuk kebutuhan dasar atau investasi produktif, malah dialirkan ke operator judi online yang mengeruk keuntungan dari penderitaan penjudi lokal.

Tidak heran, banyak analis menyimpulkan bahwa judi online memiliki peran dalam memperburuk perekonomian. Ketika masyarakat sibuk berjudi, daya beli menurun, konsumsi melemah, dan pasar kehilangan gairahnya.

Dalam Islam, judi tidak hanya dianggap sebagai tindakan yang merugikan secara ekonomi, tetapi juga secara spiritual dan moral. Surah Al-Maidah ayat 90 secara tegas mengkategorikan judi sebagai perbuatan yang najis (rijsun) dan amalan setan yang harus dijauhi.

Surah al-Maidah ayat 90, yang artinya, “Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya minuman keras, berjudi, (berkurban untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah adalah perbuatan keji (dan) termasuk perbuatan setan. Maka, jauhilah (perbuatan-perbuatan) itu agar kamu beruntung.

Ayat ini secara jelas melarang segala bentuk perjudian, termasuk dalam bentuk canggih seperti judi online, dan menegaskan bahwa perilaku ini merupakan jalan menuju kebinasaan.

Ahmad Sarwat pada Ensiklopedia Fikih Indonesia 7: Muamalat (2019: 189) menerangkan:

Ungkapan rijsun min amalis-syaithan, bermakna perbuatan keji yang merupakan perbuatan setan, menunjukkan bahwa judi termasuk dosa besar di mana pelakunya dianggap orang yang fasik dan tidak diterima kesaksiannya.

Judi adalah perbuatan keji dan dosa besar. Pelakunya dianggap sebagai manusia fasik, yang tidak layak menjadi saksi dalam urusan hukum atau sosial. Dengan kata lain, perjudian tidak hanya mencoreng nama baik pribadi, tetapi juga merusak integritas sosial.

Menghentikan fenomena judi online yang merajalela membutuhkan upaya kolektif dari berbagai pihak.

Pertama, keluarga sebagai unit terkecil dalam masyarakat harus memainkan peran penting dalam membentengi anggotanya dari godaan judi. Pendidikan moral dan agama yang kuat perlu ditanamkan sejak dini, agar anggota keluarga memahami dampak buruk judi, baik dari segi agama, sosial, maupun ekonomi. Keluarga harus menjadi tempat utama dalam memberikan pemahaman yang mendalam tentang ajaran Islam dan bahayanya praktik-praktik yang dilarang, seperti judi.

Kedua, pemerintah memiliki peran kunci dalam memutus rantai perjudian online. Salah satu langkah yang bisa diambil adalah dengan memperketat regulasi dan undang-undang terkait judi online.

Situs-situs judi harus diblokir dan pemilik serta pengguna situs ini harus dikenakan sanksi tegas. Selain itu, otoritas harus bekerja sama dengan lembaga-lembaga keuangan untuk memantau dan memblokir transaksi yang mencurigakan terkait judi online. Teknologi digital harus dimanfaatkan secara optimal untuk memerangi penyebaran dan akses judi online.

Ketiga, masyarakat perlu diberikan alternatif untuk mencari sumber penghasilan yang lebih positif dan halal. Dalam Islam, bekerja keras dan mencari nafkah yang halal adalah bagian dari ibadah.

Masyarakat perlu didorong untuk mencari peluang usaha yang produktif dan memberikan manfaat bagi diri mereka sendiri serta lingkungan. Pendampingan dalam bentuk pelatihan kewirausahaan, bantuan modal usaha, dan pembukaan lapangan pekerjaan baru dapat menjadi solusi bagi mereka yang terdorong untuk berjudi karena alasan ekonomi.

Judi online adalah ancaman besar bagi masyarakat, baik dari segi ekonomi, moral, maupun spiritual. Oleh karena itu, kita harus bahu-membahu dalam melawan praktik ini, dan bersama-sama membangun kesadaran bahwa perjudian, dalam bentuk apa pun, tidak akan pernah membawa kebaikan.

Islam telah mengingatkan kita jauh-jauh hari bahwa judi adalah perbuatan keji yang akan menghancurkan individu dan masyarakat. Sudah saatnya kita bertindak untuk menjauhkan diri dari segala bentuk perbuatan yang dimurkai Tuhan.




Menyongsong Resesi 2025 dengan Ketenangan Batin

Sebelumnya

Sekali Lagi tentang Nikmatnya Bersabar

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Tadabbur